Sabtu, 26 Juli 2014

ini ceritanya

aku seorang gadis kecil saat itu. yang belum mengerti akan keributan yang selalu terjadi antara mereka. namun, berjalannya waktu, aku pasti tumbuh dewasa, mulai mempertanyakan apa yang terjadi, dan mulailah pula semua kebohongan yang diawal bermaksud agar aku tak berkecil hati jikalau tau bahwa mereka akan berpisah. aku tumbuh dengan penuh harap dan cemas saat tak lagi kebohongan itu mempan memperbudak kedewasaanku. dikala satu kata itu menjadi bumerang bagi setiap rumah tangga jika terucap, "ku ceraikan kau!!", nah  itu yang selalu kudengar dari mulut salah satunya jika peperengan dimulai, yang satunya lagi menangis, bagaikan panggung teater mereka mempermainkan semua gencatan itu didepanku. hingga... hingga aku memiliki adik laki-laki yang saat ini berada pada masa pencarian jati diri, kami semakin besar, dan berarti aku tak lagi sendiri yang menjadi penonton dari teater memuakan itu..

sebelumnya..

mereka?

siapa mereka?

mereka, 2 orang yang Allah tetapkan sebagai orang tuaku, pemeran utama dari teater itu. mereka yang aku harapkan bisa terus bersamaku (Amin) dengan kondisi, keadaan, rohani dan jasmani yang baik. 

dan

kami..

kami, ya kami, aku fitri dan sendi, penonton setia yang tak lupa kena imbasnya ketika teater dimainkan, dan tak pernah berhasil bangkit dari bangku penonton, seolah pantat kami diberi lem power glue, sungguh sulit..

lama kelamaan kami mulai ahli dalam menyimpulkan akhir dari setiap pertunjukan. sekalinya kami menyimpulkan dan itu benar, maka kami akan terharu, bukan terharu karena sebuh kebanggaan, tapi karena kesakitan, kepedihan, dan rasa marah yang diulenin jadi satu. 

setiap kesimpulannya berbeda-beda, namun selalu ada benang merahnya. 

didalam panggung..

dengan pembelaannya, pemeran wanita berkata, "mana ada seorang istri yang mau dimadu!!" atau sejenisnya..

lalu pemeran laki-laki dengan urat yang tak kalah besar dan sama ngototnya menyangkal degan segala cara. 

backsound, gemuruh barang pecah belah, sampai yang plastik menghantarkan setiap scene nya menjadi lebih mencengkam.

kembali ke kursi penonton.... kami berderai air mata, mengharap teater itu musnah seketika tertelan gempa, atau apalah... 

itu, itu klimaks yang membuatku kini muak, mual, dan akhirnya memuntahkan semua emosi, dan protes protes bak pembeli yang dikecewakan penjualnya. dengan penuh kesadaran, air mata mulai membanjiri pelupuk mata, asma yang mencekik, aku berkata bahwa aku siap mencari bukti, mempergoki, bahkan mati ditempat untuk semua tuduhan yang diberikan mama terhadap ayahku..

tertanggal 24 Juli 2014, aku mulai meniatkan, bahwa aku akan fokus pada masalah ini, dan dengan ijin Allah aku akan lebih kuat.

aku mengorbankan banyak pihak yang kucintai, mereka harus menunggu atas kebungkamanku selama beberapa minggu ini. didukung dengan alat komunikasi yang minta diganti atau lebih tepatnya dibanting karena ketidak bergunaannya..

aku berdoa, agar cerita ini hanya aku yang punya, cukup aku yang merasakan, dan tak bosan aku selalu mengatakan "jaga keluarga kamu ya, akau juga akan begitu, semampu aku.." 

 

cerita ini (belum) berakhir..